Saturday 13 September 2014

Sifat Shalat Nabi (7): Bangkit dari Ruku

20- Kemudian mengangkat kepala, bangkit dari ruku’ sembari mengangkat kedua tangan.
21- Ketika bangkit sambil mengucapkan “sami’allahu liman hamidah”. Ini berlaku bagi imam dan orang yang shalat sendirian.
Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik disebutkan,
وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) ‘, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji)’.”  (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411)
22- Setiap orang mengucapkan “robbana wa lakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fiih, mil-assamaa-i, wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du”.
Ucapan robbana wa lakal hamdu, bisa dipilih dari empat bacaan:
a- Allahumma robbanaa lakal hamdu. (HR. Muslim no. 404)
b- Allahumma robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 795)
c- Robbanaa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 722 dan Muslim no. 477)
d- Robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411).
Bacaan yang lebih lengkap ketika i’tidal (bangkit dari ruku’),
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَىْءٍ بَعْدُ أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Allahumma robbanaa lakal hamdu mil-assamawaati wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du, ahlats tsanaa-i wal majdi, laa maani’a limaa a’thoita, wa laa mu’thiya lima mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu (artinya: Ya Allah, Rabb kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu. Wahai Tuhan yang layak dipuji dan diagungkan. Tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan tidak ada pula yang dapat memberi apa yang Engkau halangi, tidak bermanfaat kekayaan bagi orang yang memiliinya, hanyalah dari-Mu kekayaan itu)” (HR. Muslim no. 471).

Keutamaan membaca robbana wa lakal hamdu disebutkan dalam hadits Abu Hurairah,
إِذَا قَالَ الإِمَامُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka hendaklah kalian mengucapkan ‘robbana wa lakal hamdu’. Karena siapa saja yang ucapannya tadi berbarengan dengan ucapan malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan dihapus.” (HR. Bukhari no. 796 dan Muslim no. 409).
Begitu pula bagi yang mengucapkan,
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
“Robbana walakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih (artinya: wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah).” Disebutkan dalam hadits Rifa’ah bin Rofi’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang mengucapkan semacam itu,
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
Aku melihat ada 30-an malaikat, berlomba-lomba siapakah di antara mereka yang lebih duluan mencatat amalannya.”  (HR. Bukhari no. 799)
Masih ada bahasan yang berkaitan dengan postingan kali ini yang mesti diangkat yaitu di manakah posisi tangan saat i’tidal, apakah sedekap ataukah tangan diluruskan. Lalu juga akan dibahas posisi turun sujud, apakah tangan duluan atau lutut. Semoga Allah mudahkan.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.
Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifi, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.

Artikel Rumaysho.Com

Sifat Shalat Nabi (6): Cara Ruku

Saat ini kita akan melihat kembali sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu tentang cara ruku dan bacaannya.
16- Saat ruku’, kedua tangan diletakkan di lutut.
Dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshori disebutkan,
فَلَمَّا رَكَعَ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ
Ketika ruku, ia meletakkan kedua tangannya pada lututnya.” (HR. Abu Daud no. 863 dan An Nasai no. 1037. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Abu Humaid As Sa’idiy berkata mengenai cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,
فَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ كَفَّيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Jika ruku’, beliau meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jari-jemarinya.” (HR. Abu Daud no. 731. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
ثُمَّ رَكَعَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ كَأَنَّهُ قَابِضٌ عَلَيْهِمَا
Kemudian beliau ruku’ dan meletakkan kedua tangannya di lututnya seakan-akan beliau menggenggam kedua lututnya tersebut.” (HR. Abu Daud no. 734, Tirmidzi no. 260 dan Ibnu Majah no. 863. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
17- Saat ruku’, kepala dijadikan sejajar dengan punggung.
Abu Humaid As Sa’idiy berbicara mengenai cara ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلاَ يُقْنِعُ مُعْتَدِلاً
Ketika ruku’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuat kepalanya terlalu menunduk dan tidak terlalu mengangkat kepalanya (hingga lebih dari punggung), yang beliau lakukan adalah pertengahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1061 dan Abu Daud no. 730. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Wabishoh bin Ma’bad, ia berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فَكَانَ إِذَا رَكَعَ سَوَّى ظَهْرَهُ حَتَّى لَوْ صُبَّ عَلَيْهِ الْمَاءُ لاَسْتَقَرَّ
Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Ketika ruku’, punggungnya rata sampai-sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu akan tetap diam.“(HR. Ibnu Majah no. 872. Juga diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Kabir dan Ash Shoghir, begitu pula oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Al Musnad).
18- Kemudian saat ruku’ membaca “subhana robbiyal ‘azhim”, dibaca berulang kali.
Ketika ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ
Subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung).” (HR. Muslim no. 772).
Sedangkan anjuran tiga kali disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud,
إِذَا رَكَعَ أَحَدُكُمْ فَقَالَ فِى رُكُوعِهِ سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Jika salah seorang di antara kalian ruku’, maka ia mengucapkan ketika ruku’nya “Subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung)”, dibaca sebanyak tiga kali.” (HR. Tirmidzi no. 261, Abu Daud no. 886 dan Ibnu Majah no. 890. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits dengan penyebutan membaca tiga kali seperti ini diriwayatkan oleh tujuh orang sahabat. Namun boleh-boleh saja membaca dzikir tersebut lebih dari tiga kali. (Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 115)
Begitu pula boleh membaca dengan “subhana robbiyal ‘azhimi wa bihamdih”. Dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir disebutkan mengenai bacaan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ruku’,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ
Subhanaa robbiyal ‘azhimi wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung dan pujian untuk-Nya).” Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih, begitu pula Syaikh Al Albani dalam Shifat Shalat Nabi, hal. 115. Kata Syaikh Al Albani hadits ini diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthni, Ahmad, Ath Thobroni, dan Al Baihaqi).
19- Saat ruku’ dan sujud bisa pula membaca bacaan lainnya, “Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii”.
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِى رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى » يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak membaca ketika ruku’ dan sujud bacaan, “Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku)”. Beliau menerangkan maksud dari ayat Al Qur’an dengan bacaan tersebut.” (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484).
Yang dimaksud dengan ayat Al Qur’an dalam hadits di atas diterangkan dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir,
لَمَّا نَزَلَتْ (فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ) قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اجْعَلُوهَا فِى رُكُوعِكُمْ ». فَلَمَّا نَزَلَتْ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) قَالَ « اجْعَلُوهَا فِى سُجُودِكُمْ »
Ketika turun ayat “fasabbih bismirobbikal ‘azhim”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jadikan bacaan tersebut pada ruku’ kalian.” Lalu ketika turun ayat “sabbihisma robbikal a’laa”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Jadikanlah pada sujud kalian.” (HR. Abu Daud no. 869 dan Ibnu Majah no. 887. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Bacaan ruku’ dan sujud lainnya yang bisa dibaca,
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ
Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-).” (HR. Muslim no. 487).
Semoga bermanfaat. Semoga Allah terus menganugerahkan ilmu yang bermanfaat.

Referensi:

Al Muntaqo fil Ahkam Asy Syar’iyyah min Kalami Khoiril Anam, Majdud Din Abul Barokat ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyyah Al Haroni, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.
Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.
Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan ketiga, tahun 1424 H.
—\
Artikel Rumaysho.Com

Sifat Shalat Nabi (5): Mengeraskan Bacaan dalam Shalat

Saat ini kita akan mengulang bacaan surat setelah Al Fatihah dan hukum mengeraskan bacaan dalam shalat.

12- Membaca setelah Al Fatihah, surat lainnya di dua raka’at pertama dari shalat tiga dan empat raka’at. Surat yang dituntunkan untuk dibaca:
a- Shalat Shubuh dengan surat thiwalil mufasshol.
b- Shalat Maghrib dengan surat qishoril mufasshol.
c- Shalat wajib lainnya dengan surat awsathil mufasshol.
Surat thiwalil mufasshol adalah mulai dari surat Qaaf hingga surat Al Mursalaat. Surat qishoril mufasshol adalah mulai dari surat Adh Dhuha hingga akhir Al Qur’an. Sedangkan surat awsathil mufasshol adalah mulai dari surat An Naba’ hingga surat Al Lail.

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Jibrin berkata, “Surat yang dibaca setelah Al Fatihah adalah bisa satu surat utuh atau sebagiannya saja dari awal, pertengahan atau akhir, itu pun sah.” (Ibhajul Mu’minin, 1: 143).

Ibnul Qayyim berkata, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari membaca Al Fatihah, beliau membaca surat lainnya. Kadang beliau baca bacaan yang panjang. Kadang beliau memperingannya karena maksud safar atau hajat lainnya. Kadang pula beliau membaca bacaan yang pertengahan (tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek). Yang terakhir inilah yang umumnya beliau lakukan.” (Zaadul Ma’ad, 1: 202)
Namun boleh menambah beberapa ayat pada raka’at setelah dua raka’at pertama. Dari Abu Qotadah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ فِى الأُولَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ ، وَفِى الرَّكْعَتَيْنِ الأُخْرَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَابِ ، وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ ، وَيُطَوِّلُ فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى مَا لاَ يُطَوِّلُ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ ، وَهَكَذَا فِى الْعَصْرِ وَهَكَذَا فِى الصُّبْحِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat Zhuhur pada dua raka’at pertama yaitu surat Al Fatihah dan dua surat. Sedangkan dalam dua rakaat terakhir, beliau membaca Al Fatihah dan beliau juga memperdengarkan pada kami ayat lainnya. Beliau biasa memperlama rakaat pertama dibanding rakaat kedua. Demikian pula dilakukan dalam shalat ‘Ashar dan shalat Shubuh.” (HR. Bukhari no. 776).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaherkan bacaan dalam shalat Shubuh, dua raka’at pertama dari shalat Maghrib dan Isya. Sedangkan shalat Zhuhur dan Ashar, begitu pula pada rakaat ketiga shalat Maghrib dan dua raka’at terakhir shalat Isya disirrkan (dilirihkan). Ada klaim ijma’ (kesepakatan ulama) kata Syaikh Al Albani mengenai hal ini. Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 93.

Adapun dalil membaca surat yang panjang dan pendek seperti yang disebutkan tadi,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَحَدٍ أَشْبَهَ صَلاَةً بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ فُلاَنٍ. فَصَلَّيْنَا وَرَاءَ ذَلِكَ الإِنْسَانِ وَكَانَ يُطِيلُ الأُولَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ وَيُخَفِّفُ فِى الأُخْرَيَيْنِ وَيُخَفِّفُ فِى الْعَصْرِ وَيَقْرَأُ فِى الْمَغْرِبِ بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ وَيَقْرَأُ فِى الْعِشَاءِ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَأَشْبَاهِهَا وَيَقْرَأُ فِى الصُّبْحِ بِسُورَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ.
 Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku pernah shalat di belakang seseorang yang shalatnya mirip dengan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada yang lainnya. Kami shalat di belakangnya dan ia memanjangkan dua raka’at pertama dari shalat Zhuhur dan memperingan dua rakaat terakhirnya. Sedangkan shalat Ashar lebih diperingan dari shalat Zhuhur. Adapun shalat Maghrib dibacakan surat qishorul mufasshol. Pada shalat Isya dibacakan surat Asy Syams dan yang semisal dengannya. Adapun shalat Shubuh dibacakan dua surat yang panjang.” (HR. An Nasai no. 983. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

13- Bacaan surat untuk shalat yang dikerjakan di malam hari dijaherkan (dikeraskan).
14- Adapun shalat yang dikerjakan di siang hari disirrkan (dilirihkan) kecuali dijaherkan (dikeraskan) untuk shalat Jum’at dan shalat ‘ied, begitu pula shalat gerhana (shalat kusuf) dan shalat minta hujan (shalat istisqo’).
Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin menjelaskan, “Sebab di malam hari dijaherkan karena saat itu banyak aktivitas telah selesai atau berbagai kesibukan telah usai. Saat itu ada hajat untuk mendengar Al Quran. Sedangkan di siang hari, hati begitu sibuk dengan berbagai pekerjaan, sehingga diperintahkan membaca untuk diri sendiri.
Adapun shalat Jum’at, shalat ‘ied, shalat gerhana dan shalat minta hujan yang dilakukan di siang hari tetap dengan dijaherkan bacaan karena saat itu banyak kaum muslimin yang berkumpul dan mereka butuh untuk mendengar lantunan bacaan saat itu. Terkadang sebagian mereka hanya bisa mendengar lantunan Al Quran pada waktu tersebut.” (Ibhajul Mu’minin, hal. 144).
Semoga bermanfaat.

Artikel Rumaysho.Com

Sifat Shalat Nabi (4): Membaca Al Fatihah

Sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kali ini membahas tentang hukum menjaherkan (mengeraskan) basmalah dan hukum membaca surat Al Fatihah.

10- Setelah membaca ta’awudz, dilanjutkan membaca basmalah, yaitu bismillahir rahmanir rahiim (artinya: dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang).

Basmalah tidak dikeraskan, cukup bacaan untuk diri sendiri (lirih). Dari ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membuka shalatnya dengan takbir lalu membaca alhamdulillahi robbil ‘alamin.” (HR. Muslim no. 498).

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di ketika menjelaskan hadits di atas dalam Umdatul Ahkam, beliau berkata, “Ini adalah dalil bahwa bacaan basmalah tidaklah dijahrkan (dikeraskan).” (Syarh ‘Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sa’di, hal. 161).

Juga dalil lainnya adalah hadits Anas, di mana ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ )

Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga bersama Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, aku tidak pernah mendengar salah seorang dari mereka membaca ‘ bismillahir rahmanir rahiim’.” (HR. Muslim no. 399). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang sesuai sunnah, basmalah dibaca sebelum surat Al Fatihah dan bacaan tersebut dilirihkan (tidak dikeraskan).” (Kitab Shifatish Shalah min Syarhil ‘Umdah karya Ibnu Taimiyah, hal. 105).

11- Membaca surat Al Fatihah.

Membaca Al Fatihah diwajibkan berdasarkan hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.” (HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394).

Membaca Al Fatihah di sini berlaku bagi imam dan orang yang shalat dan sendirian. Sedangkan makmum dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh) tidak membaca Al Fatihah, ia cukup mendengarkan, inilah pendapat yang lebih kuat. Karena Allah Ta’ala memerintahkan,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf: 204).
Abu Hurairah berkata,

صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ  هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ. قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ  إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat subuh. Beliau bersabda: “Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?” Seorang laki-laki menjawab, “Saya. ” Beliau lalu bersabda: “Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?“ (HR. Abu Daud no. 826 dan Tirmidzi no. 312. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Mas’ud berkata,

أَنْصِتْ لِلْقُرْآنِ فَإِنْ فِي الصَّلاةِ شُغْلا، وَسَيَكْفِيكَ ذَلِكَ الإِمَامُ

Diamlah saat imam membaca Al Qur’an karena dalam shalat itu begitu sibuk. Cukup bagimu apa yang dibaca oleh imam.” (HR. Ath Thobroni 9: 264)

Ibnu ‘Umar berkata,

يَنْصِتُ لِلْإِمَامِ فِيْمَا يَجْهَرُ بِهِ فِي الصَّلاَةِ وَلاَ يَقْرَأُ مَعَهُ

Hendaklah diam ketika imam mengeraskan bacaannya dalam shalat. Dan janganlah baca bersamanya.” (HR. Abdur Rozaq, 2: 139).

Guru kami, Syaikh Abdul ‘Aziz Ath Thorifi berkata, “Inilah yang diamalkan oleh mayoritas sahabat Nabi yaitu diamalkan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah dan ‘Aisyah. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini di antara para sahabat dengan perkataan yang shahih dan tegas. Hampir-hampir saja ini jadi ijma’ sahabat. Ada perkataan dari ‘Umar yang menyelisihi namun tidak tegas.” (Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 98).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam.” (Majmu’ Al Fatawa, 23: 268-269)

Setelah membaca Al Fatihah diperintahkan membaca aamiin secara jaher (dikeraskan).
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Jika imam membaca ‘ghoiril maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin’, maka ucapkanlah ‘aamiin’ karena malaikat akan mengucapkan pula ‘aamiin’ tatkala imam mengucapkan aamiin. Siapa saja yang ucapan aamiin-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ malaikat, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. An Nasai no. 928 dan Ibnu Majah no. 852. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Semoga bermanfaat.

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.
Al Muntaqo fil Ahkam Asy Syar’iyyah min Kalami Khoiril Anam, Majdud Din Abul Barokat ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyyah Al Haroni, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.
Kitab Shifatish Shalah min Syarhil ‘Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1429 H.
Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.
Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifi, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Syarh ‘Umdatil Ahkam, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Artikel Rumaysho.Com

Sifat Shalat Nabi (3): Membaca Iftitah dan Taawudz

melanjutkan kembali tentang sifat shalat nabi. Yang kita bahas kali ini adalah mengenai membaca doa istiftah dan ta’awudz.

8- Membaca doa istiftah.
Di antara doa istiftah yang bisa dibaca adalah,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

Subhaanakallahumma wa bi hamdika wa tabaarokasmuka wa ta’ala jadduka wa laa ilaha ghoiruk (artinya: Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR. Muslim no. 399, Abu Daud no. 775, Tirmidzi no. 242, Ibnu Majah no. 804).

Ibnu Taimiyah menyatakan, “Disunnahkan membaca doa istiftah tersebut dalam shalat wajib. Sedangkan doa istiftah yang lain dianjurkan oleh sebagian ulama untuk dibaca pada shalat nafilah (shalat sunnah).” (Kitab Shifatish Shalah min Syarhil ‘Umdah karya Ibnu Taimiyah, hal. 86).
Doa istiftah lain yang bisa diamalkan,

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

Allahumma baa’id baynii wa bayna khothoyaaya kamaa baa’adta baynal masyriqi wal maghrib. Allahumma naqqinii min khothoyaaya kamaa yunaqqots tsaubul abyadhu minad danas. 

Allahummagh-silnii min khothoyaaya bil maa-i wats tsalji wal barod (artinya: Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun).” (HR. Bukhari no. 744, Muslim no. 598, An Nasai no. 896, lafaznya adalah dari An Nasai)

Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ada yang lupa membaca doa istiftah pada tempatnya, maka ia tidak perlu mengganti di rakaat kedua.” (Kitab Shifatish Shalah, hal. 97).

9- Membaca ta’awudz.

Bacaan ta’awudz yang bisa dibaca,
أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

A’udzu billahis samii’il ‘aliim, minasy syaithoonir rojiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih (artinya: aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari gangguan syaitan yang terkutuk, dari kegilaannya, kesombongannya, dan nyanyiannya yang tercela).” (HR. Abu Daud no. 775 dan Tirmidzi no. 242. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan sanad hadits ini hasan. Pengertian “min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih“, lihat Kitab Shifatish Shalah min Syarhil ‘Umdah, hal. 104).

Bisa pula mencukupkan ta’awudz dengan membaca,
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

A’udzu billahi minasy syaithooni minasy syaithonir rojiim (artinya: aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).” Hal ini berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan membaca ta’awudz baik di dalam maupun di luar shalat ketika memulai membaca Al Qur’an,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An Nahl: 98). (Lihat Kitab Shifatish Shalah, hal. 101).
Ta’awudz dibaca pada raka’at pertama sebelum memulai membaca surat setelah membaca doa istiftah. Ibnu Taimiyah berkata, “Jika seseorang meninggalkan membaca ta’awudz di rakaat pertama, maka  hendaklah ia membacanya di raka’at kedua.” (Kitab Shifatish Shalah, hal. 97).
Semoga bermanfaat bagi pengunjung setia Rumaysho.Com

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.
Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah Al Jibrin, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1432 H.
Kitab Shifatish Shalah min Syarhil ‘Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1429 H.


Artikel Rumaysho.Com

Sifat Shalat Nabi (2): Posisi Tangan Ketika Sedekap

Contohlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat. Saat ini kita akan lihat kembali sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mulai dari takbiratul ihram hingga perkara sedekap saat shalat.

4- Jika telah berdiri melaksanakan shalat, lakukanlah takbiratul ihram dengan mengucapkan, “Allahu akbar (artinya: Allah Maha Besar).”
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat adalah ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam.” (HR. Tirmidzi no. 238 dan Ibnu Majah no. 276. Abu ‘Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

5- Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan pundak atau ujung telinga (cuping telinga). Mengangkat tangan seperti ini dilakukan pada empat keadaan yaitu saat:
a- Takbiratul ihram
b- Ruku’
c- Bangkit dari ruku’
d- Berdiri dari tasyahud awwal

Di antara dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, turun ruku’ dan bangkit dari ruku’ adalah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ ، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ » . وَكَانَ لاَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِى السُّجُو

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar pundaknya ketika memulai (membuka shalat), ketika bertakbir untuk ruku’, ketika mengangkat kepalanya bangkit dari ruku’ juga mengangkat tangan, dan saat itu beliau mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah, robbanaa wa lakal hamdu’. Beliau tidak mengangkat tangannya ketika turun sujud.” (HR. Bukhari no. 735 dan Muslim no. 390).

Juga diterangkan dalam hadits Abu Humaid As Sa’idi mengenai mengangkat tangan saat bangkit dari tasyahud awwal, ia berkata,

ثُمَّ نَهَضَ ثُمَّ صَنَعَ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى إِذَا قَامَ مِنَ السَّجْدَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلاَةَ

Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit, kemudian ia melakukan raka’at kedua seperti raka’at pertama. Sampai beliau selesai melakukan dua raka’at, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan pundaknya sebagaimana yang beliau lakukan saat takbiratul ihram (ketika memulai shalat).” (HR. Tirmidzi no. 304 dan Abu Daud no. 963. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Hadits di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa mengangkat tangan itu sejajar dengan pundak. Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh mengangkat tangan hingga ujung telinga yaitu hadits,

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ». فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ.

Dari Malik bin Al Huwairits, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar kedua telinganya. Jika ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya juga sejajar kedua telinganya. Jika bangkit dari ruku’, beliau mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, beliau melakukan semisal itu pula.” (HR. Muslim no. 391).

6- Lalu sedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.

Dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata bahwa,

أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ – وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ – ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
Ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat dan beliau bertakbir (Hammam menyebutkan beliau mengangkatnya sejajar telinga), lalu beliau memasukkan kedua tangannya di bajunya, kemudian beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. (HR. Muslim no. 401).
Meletakkan tangan kanan di sini bisa pada telapak tangan, pergelangan atau lengan tangan kiri. Dalam hadits Wail bin Hujr juga disebutkan,
ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ
Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di pergelangan tangan, atau di lengan tangan kiri.” (HR. Ahmad 4: 318. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Bisa juga tangan kanan menggenggam tangan kiri (yang dimaksud pergelengan tangan kiri) sebagaimana disebutkan dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ

Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam shalat, tangan kanan beliau menggenggam tangan kirinya.” (HR. An Nasai no. 8878 dan Ahmad 4: 316. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

7- Saat sedekap, tangan diletakkan di pusar, bawah pusar atau di dada.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa meletakkan tangan ketika sedekap tidak pada tempat tertentu. Jadi sah-sah saja meletakkan tangan di dada, di pusar, di perut atau di bawah itu. Karena yang dimaksud mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Sedangkan yang lebih dari itu dengan menentukan posisi tangan sedekap tersebut butuh pada dalil. Meletakkan tangan di dada maupun di bawah pusar sama-sama berasal dari hadits yang dho’if. (Lihat penjelasan guru kami, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Athorifi dalam karya beliau Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 87-90).
Semoga berkelanjutan lagi pada serial berikutnya. Moga Allah mudahkan.

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.
Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah Al Jibrin, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1432 H.
Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan ketiga, tahun 1424 H.
Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifi, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Darus Salam, cetakan keenam, tahun 1424 H.
Al Muntaqo fil Ahkam Asy Syar’iyyah min Kalami Khoiril Anam, Majdud Din Abul Barokat ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyyah Al Haroni, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.

Artikel Rumaysho.Com

Friday 12 September 2014

Sifat Shalat Nabi (1): Berangkat Menuju Masjid

Berikut adalah keterangan mengenai sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang asalnya pembahasan ini berasal dari pembahasan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di lalu dikembangkan dengan menambahkan dari berbagai sumber lainnya.
Pembahasan ini dimulai dari adab menuju ke masjid.

1- Disunnahkan ketika menuju shalat dengan keadaan tenang dan tidak tergesa-gesa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ ، وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوا ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Jika kalian mendegar iqomah, maka berjalanlah menuju shalat. Namun tetaplah tenang dan khusyu’ menuju shalat, jangan tergesa-gesa. Apa saja yang kalian dapati dari imam, maka ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari no. 636 dan Muslim no. 602).

Jadi dilarang tergesa-gesa ketika hendak pergi ke masjid. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang melakukan tasybik yaitu menjalinkan jari jemari. Dari Ka’ab bin ‘Ujroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَإِنَّهُ فِى صَلاَةٍ

Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu memperbagus wudhunya, kemudian keluar menuju masjid dengan sengaja, maka janganlah ia menjalin jari-jemarinya karena ia sudah berada dalam shalat.” (HR. Tirmidzi no. 386, Ibnu Majah no. 967, Abu Daud no. 562. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
01 Tasybik
Menjalin jari-jemari (tasybik)

2- Ketika masuk masjid meminta rahmat pada Allah dengan membaca dzikir dan do’a,

بِسْمِ اللَّهِ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Bismillah wassalaamu ‘ala rosulillah. Allahummaghfir lii dzunuubi waftahlii abwaaba rohmatik (Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah padaku pintu rahmat-Mu).” (HR. Ibnu Majah no. 771 dan Tirmidzi no. 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ketika keluar masjid meminta karunia Allah dengan membaca dzikir dan do’a,

بِسْمِ اللَّهِ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ لِى أَبْوَابَ فَضْلِكَ

Bismillah wassalaamu ‘ala rosulillah. Allahummaghfir lii dzunuubi waftahlii abwabaa fadhlik (Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah padaku pintu karunia-Mu).” (HR. Ibnu Majah no. 771 dan Tirmidzi no. 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
3- Mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan mendahulukan kaki kiri ketika keluarnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika menyisir rambut dan ketika bersuci, juga dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari no. 186 dan Muslim no. 268). Yang dimaksud tarojjul dalam hadits -kata Ibnu Hajar- adalah menyisir dan meminyaki rambut, sebagaimana disebut dalam Al Fath, 1: 270.
Kaedah dalam masalah mendahulukan yang kanan telah disebutkan oleh Imam Nawawi. Beliau rahimahullah mengatakan, “Mendahulukan yang kanan adalah ketika melakukan sesuatu yang mulia (pekerjaan yang baik), yaitu saat menggunakan pakaian, celana, sepatu, masuk masjid, bersiwak, bercelak, memotong kuku, memendekkan kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, memberi salam dalam shalat, mencuci anggota wudhu, keluar kamar mandi, makan, minum, bersalaman, mengusap hajar Aswad, atau perkara baik semisal itu, maka disunnahkan mendahulukan yang kanan.

Sedangkan kebalikan dari hal tadi seperti masuk kamar mandi, keluar dari masjid, membuang ingus, istinja’ (cebok), melepas baju, celana dan sepatu, dan semisal itu disunnahkan mendahulukan yang kiri. (Syarh Shahih Muslim, 3: 143).
Masih berlanjut, moga Allah mudahkan. Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.
Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah Al Jibrin, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1432 H.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Artikel Rumaysho.Com

Dan Umar Pun Menangis

Siapa yang tak mengenal Umar Ibnul Khathab -radhiallahu’anhu-. Sosok yang memiliki tubuh kekar, watak yang keras dan berdisiplin yang tinggi serta tak kenal gentar. Namun di balik sifat tegasnya tersebut beliau memiliki hati yang lembut.

Suatu hari beliau masuk menemui Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- di dalam rumahnya, sebuah ruangan yang lebih layak disebut bilik kecil disisi masjid Nabawi. Di dalam bilik sederhana itu, beliau mendapati Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- sedang tidur di atas tikar kasar hingga gurat-gurat tikar itu membekas di badan beliau.

Spontan keadaan ini membuat Umar menitikkan air mata karena merasa iba dengan kondisi Rasulullah.

Mengapa engkau menangis, ya Umar?” tanya Rasulullah.

Bagaimana saya tidak menangis, Kisra dan Kaisar duduk di atas singgasana bertatakan emas,” sementara tikar ini telah menimbulkan bekas di tubuhmu, ya Rasulullah. Padahal engkau adalah kekasih-Nya,” jawab Umar.

Rasulullah kemudian menghibur Umar, beliau bersabda: “Mereka adalah kaum yang kesenangannya telah disegerakan sekarang juga, dan tak lama lagi akan sirna, tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia sementara kita memiliki akhirat…? “.

Beliau shallallahu alaihi wasallam melanjutkan lagi, “Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang bepergian di bawah terik panas. Dia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya“.
Begitulah sahabat…

Tangisan Umar adalah tangisan yang lahir dari keimanan yang dilandasi tulusnya cinta kepada Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam-. Apa yang dilihatnya membuat sisi kemanusiaannya terhentak dan mengalirkan perasaan gundah yang manusiawi. Reaksi yang seolah memberi arti bahwa semestinya orang-orang kafir yang dengan segala daya dan upaya berusaha menghalangi kebenaran, memadamkam cahaya iman, dan menyebarkan keculasan dan keburukan, mereka itulah yang semestinya tak menikmati karunia Allah. Sebaliknya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah membimbing umat manusia dari kegelapan menuju cahaya Islamlah semestinya mendapat kesenangan dunia yang layak, begitu fikir Umar.

Tangisan Umar juga memberi arti lain, bahwa betapa tidak mudah bagi sisi-sisi manusiawi setiap orang bahkan bagi Umar sekalipun, untuk menerima ganjilnya “pemihakan” dunia kepada orang-orang bejat. Namun sekejap gundah dan tangisnya berubah menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman sesudahnya. Yaitu apabila kita mengukur hidup ini dengan timbangan duniawi, maka terlalu banyak kenyataan hidup yang dapat menyesakkan dada kita.

Lihatlah bagaimana orang-orang yang benar justru diinjak dan dihinakan. Sebaliknya, para penjahat dan manusia-manusia bejat dipuja dengan segala simbol penghargaan. Tak perlu heran, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabarkan akan masa-masa sulit itu. Masa dimana orang-orang benar didustakan dan orang-orang dusta dibenarkan.

Tangis Umar juga mengajari kita bahwa dalam menyikapi gemerlapnya dunia, kita tidak boleh hanya menggunakan sisi-sisi manusiawi semata, dibutuhkan mata hati bukan sekedar mata kepala. Dibutuhkan ketajaman iman, dan bukan semata kalkulasi duniawi.

Dan semua itu tercermin dalam jawaban Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- kepada Umar. Beliau memberi gambaran yang membuat sesuatu yang secara lahiriah aneh dan ganjil bisa jadi secara substansial benar-benar adil. Bagaimana sesuatu yang yang secara kasat mata terlihat pahit, menjadi benih-benih bagi akhir yang manis dan membahagiakan.

Jawaban Rasulullah juga memberi pesan agar orang beriman jangan sampai mudah silau dan terpukau dengan gemerlapnya dunia yang dimiliki oleh orang kafir. Karena setiap mukmin punya pengharapan lain yang jauh lebih tinggi, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat, pada keaslian kampung halaman yang sedang dituju.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ

Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 561).

Sekilas tentang biografi Umar ibnul Khottab -radhiallahu anhu-

Nama beliau adalah Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza atau lebih dikenal dengan Umar bin Khattab . Beliau mempunyai postur tubuh yang tegap dan kuat, wataknya keras, berani, dan berdisiplin tinggi. Dimasa remajanya, dia dikenal sebagai petarung yang tangguh dan disegani di Makkah. Tidak hanya itu, tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu mengantarkan-nya terpilih menjadi wakil kabilahnya. Beliau selalu diberi kepercayaan dalam melakukan perundingan dengan suku-suku lain di jazirah Arab. Keunggulannya berdiplomasi mem-buatnya populer di kalangan berbagai suku Arab.

Karena keunggulannya itu Nabi shallalahu alaihi wasallam pernah meminta kepada Allah, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang. Amr bin Hisyam atau Umar bin Khaththab”. Allah pun meperkenankan do’a nabi-Nya dengan masuk Islamnya Umar.

Banyak prestasi yang berhasil diraihnya selama menjabat sebagai khalifah Islam. Dimasa kekhalifaannya Mesopotamia, Mesir, Palestina, Afrika Utara dan Byzantium berhasil di ambil alih. Persia sebagai negara adidaya kedua setelah romawi pun berhasil ditaklukkan, itulah rahasia mengapa Syiah Majusi sangat membencinya.

Selama menjabat sebagai kholifah beliau membuat peraturan untuk para gubernurnya. Diantaranya adalah:
  1. Mereka tidak boleh memiliki kendaraan mewah
  2. Mereka dilarang memakai pakaian tipis halus dan mahal harganya
  3. Dilarang makan makanan yang enak-enak
  4. Tidak boleh menutup rumah bila orang memerlukannya
Beliau wafat pada tahun ke 23 H setelah ditikam oleh Abu lu’lu’ah Al Majusy alahi ma yastahik. Dan di makamkan disamping dua sahabatnya Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dan Abu Bakar As -Shiddiq -radhiallahu anhu-

Rahimakallahu ya Umar…. wa radhiallahu anka..

Demikian semoga bermanfaat.

__________________
Salemba 1 Dzulqa’dah 1435 H
Catt: Kisra adalah gelar bagi penguasa Persia. Sedangkan kaisar adalah gelar bagi raja Romawi. Saat itu keduanya merupakan pemimpin yang sangat berpengaruh di dunia.
Penulis: Ust. Aan Chandra Thalib, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

Pribadi Yang Bermanfaat

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).

Saudaraku, menjadi pribadi yang bermanfaat adalah salah satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Setiap Muslim diperintahkan untuk memberikan manfaat bagi orang lain. 

Memberikan manfaat kepada orang lain, maka manfaatnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri. Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman: 

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ 

Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ الله فِي حَاجَتِهِ

“Barangsiapa membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya.” (Muttafaq ‘alaih)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: 

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ الله عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ, ةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ الله عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

Barang siapa yang memudah kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang dalam kesulitan niscaya akan Allah memudahkan baginya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim).

Saudaraku agar kita benar-benar mendapatkan manfaat yang kita berikan kepada orang lain, kita harus ikhlas, karena ikhlas adalah salah satu kunci diterimanya amalan kita. 

Dan hanya amalan yang diterima Allah Jalla fii ‘Ulaah yang akan memberikan manfaat kepada kita baik di dunia maupun di akhirat kelak.


Penulis: Ustadz Fuad Hamzah Baraba, Lc.
Artikel Muslimah.Or.Id

Tiga Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Beramal Shalih

Ada tiga hal yang di nasehatkan Ibnul Qayyim ketika kita sedang menimbang, memperhatikan dan merenungi amal-amal kita di dunia ini:

Yang pertama: Nurul hikmah (ilmu), sudah jelas bagi kita bahwa miqyas dan timbangan yang kita pakai untuk menimbang antara dosa-dosa dan kenikmatan-kenikmatan yang sudah kita terima adalah ilmu agama. Betapa besar nikmat yang Allah yang sudah kita terima tapi masih saja kita balas nikmat itu dengan dosa dan kemaksiatan yang masih saja tidak bisa kita tinggalkan.

Yang kedua: Suuzhan bi nafsi (tidak selalu memandang baik pada diri), memang betul bahwa kebaikan dan kenikmatan yang kita terima adalah juga merupakan buah dari kebaikan dan taqwa yang kita haturkan kepada Allah Ta’ala. Tapi ingat kita jangan tertipu dengan kesalehan pribadi kita yang berujung pada ujub dan bangga diri dihadapan manusia karena kita sudah merasa sedemikian tinggi derajat ibadah kita dibanding orang awam. Suuzhan bi nafsi amat diperlukan, sebab berbaik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, dan aib sebagai kesempurnaan.

Yang ketiga: kemampuan membedakan antara nikmat dan ujian, yaitu mampu membedakan antara nikmat yang berasal dari kebaikan dan ketaqwaan kita yang berujung pada kenikmatan haqiqi dengan nikmat yang sebenarnya makin memfasilitasinya untuk semakin berbuat syirik dan kedurhakaan kepada Allah Ta’ala, dimana ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu terus kemudian berdalil dengan nikmat itu ia telah berada dalam jalan yang benar. Misalnya perkataan seorang penyanyi dangdut atau artis film yang berkata misalnya : “Alhamdulillah saya masih disayang oleh Allah, buktinya saya masih banyak job dan undangan manggung…” !?
Wal iyadzu billah…



Penulis: Ustadz Suhuf Subhan, Lc.
Artikel Muslimah.Or.Id

Memetik Beberapa Faedah Dari Hadits “Berbai’atlah Kepadaku…”

Imam Al Bukhari rahimahullah meriwatkan dalam Shahih-nya sebuah hadis:

أَخْبَرَنِى أَبُو إِدْرِيسَ عَائِذُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ – رضى الله عنه – وَكَانَ شَهِدَ بَدْرًا ، وَهُوَ أَحَدُ النُّقَبَاءِ لَيْلَةَ الْعَقَبَةِ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ « بَايِعُونِى عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا ، وَلاَ تَسْرِقُوا ، وَلاَ تَزْنُوا ، وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ ، وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ ، وَلاَ تَعْصُوا فِى مَعْرُوفٍ ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِى الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ ، وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ » . فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ

Abu Idris ‘Aidzullah bin Abdillah mengabarkan bahwa Ubadah bin al Shamit radhiyallahu ‘anhu –ia adalah orang yang mengikuti perang badar dan salah satu peserta baiat malam Aqabah- menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dan disekitarnya ada sejumlah para sahabat, “Berbai’atlah kepadaku untuk tidak mensekutukanku dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak laki kalian, tidak mendatangkan kedustaan antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak menyelisihku dalam perkara yang makruf. Barangsiapa diantara kalian yang menunaikannya, maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah. Dan barangsiapa yang terjerumus kepada salah satu dari semua itu, kemudian ia dihukum di dunia, maka hukuman itu menjadi kaffarah (penebus dosa) untuknya. Dan barang siapa yang terjerumus kepada salah satu darinya, kemudian Allah menutupnya, maka urusannya kelak kembali kepada Allah. Jika Allah menghendaki, ia diampuni dan jika Allah menghendaki, ia disiksa.” Maka kami pun berbaiat kepada beliau atas semua itu.” (HR Bukhari no: 18)

Mari kita menyimak beberapa petikan faedah dari hadis diatas:

Hadis ini dicantumkan oleh Imam Bukhari dalam ‘Kitabul Iman’, al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dalam matan hadis ini terdapat dua sisi kolerasi dengan terma Iman: Pertama, meninggalkan hal-hal yang dilarang merupakan bagian dari iman, sebagaimana mengerjakan hal-hal yang diperintahkan. Kedua, dalam hadis terkandung bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar kafir atau kekal di neraka.” (Fathul Baary: 1/82)
Dalam hadis ini terdapat beberapa poin bai’at yang berisi larangan: (1) menyekutukan Allah (2) mencuri (3) berzina (4) membunuh anak laki-laki (5) mendatangkan kedustaan (6) menyelisihi Rasul dalam hal yang makruf.

Ibnu Rajab al Hanbaly rahimahullah berkata, “Setelah bai’at atas beberapa poin diatas selesai disebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kepada mereka hukum orang yang menunaikannya dan hukum orang yang tidak menunaikannya. Adapun orang yang menunaikannya, maka ia akan mendapat ganjaran dari Allah. Ini juga sesuai dengan firman Allah, 

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS. Al Fath [48]: 10). Pahala yang besar ditafsirkan oleh Qatadah yang sebagian salaf yang lainnya dengan ‘Surga’.
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang meninggalkan syirik, dosa besar dan kemaksiatan seluruhnya akan mendapatkan surga” (Fathul Baary Ibnu Rajab: 1/71).

Adapun orang yang tidak menunaikan poin bai’at diatas, yaitu terjerumus pada salah satu dari larangan-larangan diatas, maka ia berada dalam dua kondisi dan dua konsekwesi. Namun dengan catatan, dikecualikan dari semua larangan-larangan diatas perbuatan syirik. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Keumuman hadis ini dikhususkan oleh firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik.” (QS. An Nisaa [4]: 48) Orang yang murtad, tatkala ia dibunuh karena kemurtadannya, tentu hal itu tidak menjadi kaffarah (penebus dosa) untuknya.” (Fathul Baary Ibnu Hajar: 1/83)

Kondisi pertama, ia dihukum di dunia, dan beliau menyatakan bahwa hukuman itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) untuknya. Berdasarkan hadis ini, mayoritas para ulama mengatakan bahwa hudud (hukum potong tangan, rajam dll) menjadi penebus dosa, walaupun tidak ditaubati. Pendapat ulama yang lain mengatakan tidak cukup hukuman, namun harus disertai dengan taubat. Selain hudud, hukuman yang dimaksud dalam hadis diatas juga mencakup ta’ziir (hukuman atas tindak kejahatan yang penentuannya dikembalikan kepada kebijakan penguasa). Ibnu Hajar berkata, “Sabda beliau dalam hadis ini, “Kemudian dihukum” bersifat umum, mencakup hukuman had atau ta’ziir.” (Fathul Baary: 1/86)

Ibnu Rajab berkata, “Termasuk ke dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan barangsiapa yang terjerumus kepada salah satu dari semua itu, kemudian ia dihukum di dunia, maka hukuman itu menjadi kaffarah (penebus dosa) untuknya.” ‘uquubaat qadariyyah (hukuman-hukuman takdir) seperti ditimpa penyakit. Hadis-hadis yang menerangkan bahwa musibah akan menghapus dosa sangat banyak. Musibah-musibah itu terasa sakit bagi diri sebagaimana rasa sakit yang muncul karena hukuman had, bahwa terkadang lebih besar.” (Fathul Baary: 1/74)

Kondisi kedua, ia tidak dihukum di dunia karena dosanya. Maka urusan orang ini kelak pada hari akhir diserahkan kepada Allah. Jika Allah menghendaki, Allah akan menyiksanya, jika Allah menghendaki, Allah akan mengampuninya. Ibnu Hajar berkata, “al Mazini berkata, “dalam hadis ini terkandung bantahan kepada sekte khawarij yang memvonis kafir dengan sebab dosa, dan juga bantahan kepada sekte muktazilah yang mengatakan orang fasik pasti akan disiksa jika ia mati tanpa bertaubat.” (Fathul Baary: 1/87)

Orang yang tidak dihukum ini juga ada dua kondisi: Pertama, ia mati tanpa bertaubat. Maka statusnya kelak pada hari kiamat ‘tahtal masyi`ah’ (dibawah kehendak Allah); Jika Allah menghendaki ia disiksa, dan jika Allah menghendaki ia diampuni. Kedua, sudah bertaubat. Sebagian ulama ada yang berpendapat, ia juga ‘tahtal masyi`ah’. Akan tetapi mayoritas ulama –dan ini pendapat yang benar- orang yang bertaubat, maka ia akan diampuni. Allah berfirman,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Furqan [25]: 70). Namun hendaknya ia tetap merasa khawatir dengan dosanya, tidak menganggapnya kecil karena ia merasa telah bertaubat.

Menurut mayoritas ulama, bagi orang yang ingin bertaubat dari dosanya, maka yang lebih utama ia bertaubat secara rahasia antara dirinya dengan Allah saja, tidak perlu mengakuinya kepada orang lain dan tidak perlu meminta kepada penguasa untuk dihukum. Sebagian para ulama merincinya, jika ia melakukan perbuatan dosa itu secara terang-terangan, maka disunnahkan mengumumkan taubatnya kepada orang lain. (Lihat Fathul Baary Ibnu Hajar: 1/87 dan Fathul Baary Ibnu Rajab: 1/76-77)
@Subang, malam selasa, 7 Dzulqa’dah 1435 H (2/9/2014)

Referensi:
  • Fathul Baary Syarh Shahih al Bukhari, Ibnu Hajar al ‘Asqalany, cet. Maktabah Salafiyyah.
  • Fathul Baary Syarh Shahih al Bukhari, Ibnu Rajab al Hanbaly, cet. Dar Ibnu al Jauzy.
Penulis: Ust. Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Apakah Membaca Hadits Diganjar Pahala?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Soal:
Terdapat dalil-dalil mengenai pahala membaca Al Qur’an Al Karim. Namun apakah ada pahala untuk membaca hadits-hadits Nabi?

Jawab:

Iya ada. Membaca semua ilmu (agama), diganjar pahala. Belajar dan menuntut ilmu agama adalah bentuk mengikuti tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah, dan di dalamnya ada pahala yang besar.
Ilmu itu diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خيركم من تعلم العلم وعلمه

“sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarinya” (HR. Al Bukhari no. 4639)

Dan telah datang banyak hadits mengenai keutamaan membaca Al Qur’an, diantaranya sabda Nabi Shallalahu’alahi Wasallam:

اقرءوا القرآن، فإنه يأتي شفيعاً لأصحابه يوم القيامة

bacalah Al Qur’an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafa’at pada shahibul qur’an” (HR. Muslim no. 1337)

Dan pernah suatu hari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أيحب أحدكم أن يذهب إلى بطحان – وادٍ في المدينة – فيأتي بناقتين عظيمتين في غير إثم ولا قطيعة رحم؟ فقالوا: كلنا يحب ذلك يا رسول الله، فقال: لأن يذهب أحدكم إلى المسجد فيتعلم آيتين من كتابا لله خير له من ناقتين عظيمتين، وثلاث خير من ثلاث، وأربع خير من أربع، ومن أعدادهن من الإبل

apakah diantara kalian ada yang senang pergi ke Bathan (suatu lembah di Madinah) kemudian datang pulang membawa dua unta yang besar dengan tidak berbuat dosa dan tetap menyambung silaturahmi? Para sahabat menjawab: kami semua menyukai hal itu wahai Rasulullah. Maka Rasulullah bersabda: sungguh jika kalian pergi ke masjid lalu mempelajari dua ayat dari Al Qur’an itu lebih baik dari dua unta yang besar. Dan tiga ayat lebih baik dari tiga unta yang besar. Empat ayat lebih baik dari empat unta yang besar, dan seterusnya” (HR. Muslim no. 1336)

atau kira-kira demikian sabda beliau. Dan ini menunjukkan tentang keutamaan mempelajari Al Qur’an Al Karim dan membacanya.

Dan dalam hadits Ibnu Mas’ud:

من قرأ حرفاً من القرآن فله حسنة، والحسنة بعشر أمثالها

barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Qur’an maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan dilipat-gandakan sepuluh kali” (HR. At Tirmidzi no. 2835)

Demikian juga As Sunnah yang dipelajari seorang mukmin. Maka membaca hadits dan mempelajarinya juga akan mendapatkan pahala yang besar. Karena ini termasuk mempelajari ilmu. Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

من سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل الله له به طريقاً إلى الجنة

barangsiapa menjalani jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim no. 4867)

Dan ini menunjukkan bahwa mempelajari ilmu dan menghafal hadits serta mudzakarah hadits termasuk sebab untuk masuk ke dalam surga dan sebab yang menyelamatkan dari neraka. Demikian juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من يرد الله به خيراً يفقه في الدين

barangsiapa yang diinginkan kebaikan oleh Allah, akan Allah pahamkan ia dalam masalah agama” (HR. Al Bukhari 69, Muslim 1719)

Dan belajar ilmu agama itu bentuk mengikuti tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah. Dan mempelajari As Sunnah (hadits) merupakan tanda bahwa Allah menginginkan kebaikan pada seorang hamba. Sebagaimana mempelajari Al Qur’an juga demikian. Dan dalil-dalil untuk hal ini sangatlah banyak, walillahil hamd.

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Penuntut Ilmu Harus Memiliki Sifat Jujur dan Amanah

Menuntut ilmu merupakan suatu pekerjaan yang tidak perlu lagi diragukan akan keuntungan dan keutamaan yang akan diperoleh darinya. Menuntut ilmu merupakan ciri khas umat terakhir yang menghuni bumi ini, umat Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Betapa banyak ayat dan hadits yang membicarakan keuntungan mempelajari syariat Islam. Bahkan tidak ada seorang muslim pun yang berakal kecuali ia akan senantiasa berpesan kepada karib kerabat dan sahabatnya agar tidak lengah dari mempelajari syariat. Hal itu karena begitu besarnya keuntungan dalam aktifitas mempelajari syariat Islam.
Dalam Al-Quran, antara lain Allah pernah mengatakan,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah: 11)

Antara Orang Yang Ikhlas Dan Pengekor Hawa Nafsu

Faedah dari pengajian Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhailiy malam ini di masjid Nabawi. Beliau pengajar tetap di masjid Nabawi dan Guru besar di pasca sarjana jurusan Aqidah Univ. Islam Madinah KSA. Pembahasan yang beliau bahas dalam majelis beliau semalam seputar hadits berikut.
Dari ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.

Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau menjelaskan bahwa seorang mujtahid yang keliru dalam ijtihadnya, ia mendapatkan pahala dikarenakan ia telah mencurahkan segala upaya, tenaga dan pikiran, untuk berusaha menepati kebenaran. Kekeliruannya bukan atas dasar kehendak dia dan bukan karena dorongan kesengajaan hati.

Berbeda dengan pengekor hawa nafsu, sejak awal yang ia inginkan bukan untuk menetapi kebenaran. Namun memang yang ia inginkan adalah menyelisihi kebenaran. Ia menyengaja dalam hal itu..
Di sinilah tampak keutamaan ikhlas.. Cukuplah keikhlasan hati sebagai kemuliaan.. Tulus dan bersihnya niat sebagai anugerah Allah terindah.. Yang mengangkat derajat seorang hamba di sisiNya. Bahwa orang yang ikhlas mendapatkan pahala pada setiap keadaan dan lika-liku kehidupannya. Benarnya berpahala…kelirunya juga mendapatkan pahala.

Dan cukuplah mengekor hawa nafsu itu sebagai musibah.. Setiap keadaan hidupnya adalah dosa. Benarnya dosa…kekeliruannya juga dosa.

(Lho bagaimana maksudnya, benarnya dosa, kelirunya juga dosa ?)
Begini sahabat… terkadang pengekor hawa nafsu keputusannya bersesuaian dengan kebenaran. Namun tindakan tersebut bukan karena dorongan niat yang tulus. Bukan pula karena memang menyengaja untuk menetapi kebenaran

Akan tetapi hanya karena faktor lain, seperti ndak enak dengan kawan karib. Atau sekedar fanatik kepada orang yang ia segani atau golongannya. Atau karena sesuai dengan kepentongannya. Jadi bukan karena niatan tulus untuk mengikuti kebenaran, namun semata karena menuruti keinginan hawa nafsu. Jadilah ia berdosa dalam benarnya dan berdosa salahnya. Disebabkan karena niat..
Berbeda dengan seorang yang ikhlas. Niatnya tulus, tujuannya luhur. Yaitu ingin menggapai kebenaran dengan mencurahkan segala uapaya. Tak berlebihan bila Syaikhuk Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,


أمرهم دائر بين الأجر والأجرين
“Seorang yang ikhlas dalam ijtihadnya mengagumkan memang. Perkara mereka senantiasa antara mendapat satu pahala atau dua pahala”
Madinah, 11 Dzulqa’dah 1435.

(Kajian Syaikh Ibrahim Arruhailiy, pembahasan kitab “Bahjatul Qulub Al-Abrar” karya Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah)

Penulis: Ahmad Anshori
Muraja’ah: Ustadz M. Abduh Tuasikal, ST, MSc
Artikel Muslim.Or.Id

5 Sifat Haji Mabrur

Haji mabrur itulah yang didambakan setiap orang karena balasannya tentu saja surga. Namun haji mabrur bukanlah suatu slogan atau titel. Ada beberapa sifat yang mesti dipenuhi, barulah seseorang yang berhaji bisa menggapai derajat mulia tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Di antara umrah yang satu dan umrah lainnya akan menghapuskan dosa di antara keduanya dan haji mabrur tidak ada bahasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).
Hadits di atas disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengawali pembahasan dalam kitab haji pada hadits no. 708. Hadits tersebut menerangkan mengenai keutamaan haji mabrur dan balasannya adalah surga.
Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (22: 39) mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak ada riya’ (ingin dipandang orang lain), tidak sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak ada rofats (kata-kata kotor di dalamnya), tidak melakukan kefasikan, dan berhaji dengan harta halal.
Kita dapat katakan bahwa sifat haji mabrur ada lima:
  1. Ikhlas mengharap wajah Allah, tidak riya‘ dan sum’ah. Jadi haji bukanlah untuk cari titel atau gelar “Haji”. Tetapi semata-mata ingin mengharap ganjaran dari Allah.
  2. Berhaji dengan rezeki yang halal karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
    Allah itu thoyyib (baik) dan tidaklah menerima kecuali dari yang baik” (HR. Muslim no. 1015).
  3. Menjauh dari maksiat, dosa, bid’ah dan hal-hal yang menyelisihi syari’at. Hal-hal tadi jika dilakukan dapat berpengaruh pada amalan sholeh dan bisa membuat amalannya tidak diterima. Lebih-lebih lagi dalam melakukan haji. Dalam ayat suci Al Qur’an disebutkan firman Allah,
    الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
    (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata kotor), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al Baqarah: 197).
  4. Berakhlak yang mulia dan bersikap lemah lembut, juga bersikap tawadhu’ (rendah hati) ketika di kendaraan, tempat tinggal, saat bergaul dengan lainnya dan bahkan di setiap keadaan.
  5. Mengagungkan syi’ar Allah. Orang yang berhaji hendaknya benar-benar mengagungkan syi’ar Allah. Ketika melaksanakan ritual manasik, hendaklah ia menunaikannya dengan penuh pengagungan dan tunduk pada Allah. Hendaklah ia menunaikan kegiatan haji dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa dalam berkata atau berbuat. Jangan bersikap terburu-buru sebagaimana yang dilakukan banyak orang di saat haji. Hendaklah punya sikap sabar yang tinggi karena hal ini sangat berpengaruh besar pada diterimanya amalan dan besarnya pahala.
    Di antara bentuk mengagungkan syi’ar Allah, hendaklah ketika berhaji menyibukkan diri dengan dzikir, yaitu memperbanyak takbir, tasbih, tahmid dan istighfar. Karena orang yang berhaji sedang dalam ibadah dan berada dalam waktu-waktu yang mulia.
Demikianlah haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ditilik, maka di dalamnya benar-benar berisi pengagungan terhadap syi’ar Allah. Itu nampak dari perkataan dan perbuatan beliau, semoga shalawat dan salam tercurahkan pada beliau.
Hanya Allah yang memberi taufik untuk menggapai haji mabrur.

ReferensiMinhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 158-161.

Diselesaikan di pagi hari, 11 Dzulqo’dah 1434 H di Pesantren Tercinta Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id