Menuntut ilmu merupakan suatu pekerjaan yang tidak perlu lagi
diragukan akan keuntungan dan keutamaan yang akan diperoleh darinya.
Menuntut ilmu merupakan ciri khas umat terakhir yang menghuni bumi ini,
umat Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Betapa banyak ayat
dan hadits yang membicarakan keuntungan mempelajari syariat Islam.
Bahkan tidak ada seorang muslim pun yang berakal kecuali ia akan
senantiasa berpesan kepada karib kerabat dan sahabatnya agar tidak
lengah dari mempelajari syariat. Hal itu karena begitu besarnya
keuntungan dalam aktifitas mempelajari syariat Islam.
Dalam Al-Quran, antara lain Allah pernah mengatakan,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah: 11)
Ketinggian derajat di sini mencakup derajat di dunia seperti diberi
kedudukan di tengah masyarakat serta keharuman namanya maupun derajat di
akhirat dengan diberikan kedudukan tingga di Surga. (Fath Al-Bari I/141)
Allah juga berfirman,
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ
الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا
أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al
Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al-Baqarah: 269)
Tentang al-hikmah di sini, Mujahid pernah mengatakan, “Maksudnya adalah ilmu dan fiqih.” (Akhlaq Al-‘Ulama hlm. 9)
Di antara firman Allah yang menunjukkan besarnya keuntungan pada
aktifitas belajar adalah kewajiban memperdalam dan menambah ilmu,
mengingat firman Allah Ta’ala yang berisi perintah pada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
وقل رب زدني علما
“Katakanlah, ‘Wahai Rabb-ku, tambahkan ilmu padaku.” (QS Thaha: 114)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah memerintahkan
Nabi-nya meminta tambahan sesuatu kecuali ilmu saja, tidak ada yang
lain. Hal ini tentu karena Allah tahu bahwa ada begitu keuntungan besar
yang akan diperoleh dalam ilmu. Apalagi kalau bukan buah takut pada
Allah ‘Azza wa Jalla,
إنما يخشى الله من عباده العلمؤا
“Di antara hamba-hamba Allah hanya para ulama lah yang takut pada-Nya.” (QS Fathir: 28)
Khasy-yah ini tujuan paling agung dalam menuntut ilmu, bukan untuk berlagak di hadapan orang-orang dengan penuh kesombongan.
Ayat dapat difahami, khasy-yah seseorang kepada Allah berbanding
lurus dengan ilmu yang dimilikinya. Semakin ilmunya luas, rasa takutnya
pada Allah pun semakin kuat pula. Jika sama sekali tidak memeliki ilmu?
Sama sekali tidak tahu mana yang halal dan mana yang haram? Tentu saja
segala tindakan dosa bakal mudah diterjangnya tanpa ada rasa khawatir
tertimpa azab dan siksa.
Ibaratnya suatu jalan yang kerap terjadi perampokkan dan penyamunan.
Orang yang tidak mengetahui bahwa di jalan tersebut ramai penyamun, ia
akan biasa saja melewatinya, tanpa ada sedikit pun rasa takut. Walaupun
boleh jadi saat ia lewat sedang tidak ada penyamun yang mangkal di situ.
Di lain hari ia juga akan melewati jalan tersebut dengan perasaan yang
sama, aman dan tidak khawatir. Akan tetapi jika di suatu hari ada orang
yang memberinya tahu, bahwa ternyata jalan yang biasa dilaluinya itu
banyak penyamun yang beropreasi di sana, tentu sikapnya akan berobah
derasti. Dari yang sebelumnya jalan biasa, kini mulai waspada dan
hati-hati.
Maka dengan bertambahnya ilmu, bertambahlah pula rasa takut pada Allah Ta’ala. Dan Mahasuci Allah dari segala bentuk permisalan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kerap kali mendorong dan memotofasi umatnya agar terus mempelajari syariatnya. Antara lain sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam, “Siapa
yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah pasti memberi
salah satu jalan menuju Surga. Sesungguhnya para Malaikat mendaratkan
sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu. Sesungguhnya penduduk langit, bumi,
dan ikan hiau yang berada di perut laut senantiasa memintakan ampun bagi
seorang ulama. Sejatinya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang
yang ahli ibadah laksana keutamaan rembulan di bulan purnama atas
seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama merupakan pewaris para nabi.
Dan sesungguhnya nabi-nabi tidak pernah mewariskan dinar maupun dinar.
Akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya,
berati ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Shahabat Abu Ad-Darda’ –radhiyallahu ‘anhu-)
Masih banyak lagi nas-nas yang menyebutkan keutamaan ilmu. Kiranya
bagi seorang Muslim yang akalnya masih sehat dapatlah cukup hanya
sekedar isyarat saja, tidak seperti orang dungu yang meskipun dibacakan
Al-Quran, Injil, Zabur, dan seluruh kitab Allah tidak akan membuatnya
tergugah.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa seorang pelajar yang berjalan dalam
rangka menimba dan mempelajari ilmu ada di sana rambu-rambu yang perlu
diperhatikan. Agar apa yang selama ini ia cari tidak berubah menjadi
mala petaka bagi dirinya. Akhirnya sesuatu yang seharusnya membuatnya
mulia justru berubah menjadi bencana.
Salah satu adab yang kerap kali dilupakan para pelajar dan penuntut
ilmu di zaman ini adalah sikap jujur dan amanah dalam menuntut ilmu.
Padahal dusta yang merupakan lawan dari jujur, dan khianat yang tak lain
lawan dari amanah, termasuk sifat yang paling buruk dan bejat. Seorang
mukmin yang Allah terangi hatinya dengan iman tidak mungkin memendam
kedua sifat buruk tersebut. Apatah lagi seorang penuntut ilmu syariat
yang selalu dinaungi sayap-sayap para Malaikat dan pemburu warisan para
nabi dan rasul!!
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 26)
Ilmu merupakan salah satu amanah yang benar-benar harus ditunaikan
karena kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu
sepantasnya bagi penuntu dan pengembannya dapat mengemban dan
menunaikannya dengan penuh kejujuran dan amanah serta diiringi rasa
takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di samping itu ia juga harus selalu waspada terjerumus pada menyandarkan sesuatu atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam secara zhalim dan tidak benar.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri sudah
jauh-jauh hari mewanti-wanti dan mengancam siapa saja yang berani
berdusta atas namanya. Perkara yang semisal dengan dusta atas nama
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah terlau ceroboh membawakan suatu riwayat dari beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.
Al-Bukhari melaporkan dari ‘Ali bin Abu Thalib –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
“Kalian jangan berdusta atas namaku. Karena sesungguhnya siapa yang
berdusta atas namaku, sebaiknya ia masuk Neraka saja.”
Menurut satu riwayat lain disebutkan, “Hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.”
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, tuturnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
تناصحوا في العلم ، فإن خيانة أحدكم في علمه أشد خيانة في ماله ، و إن الله سائلكم يوم القيامة
“Hendaknya kalian saling memberi nasehat tentang ilmu. Sesungguhnya
khianat salah seorang kalian terhadap ilmunya itu lebih besar daripada
pengkhianatannya pada hartanya. Dan sesungguhnya Allah pasti akan
memintai kalian pertanggungjawaban pada hari kiamat.” (Dalam sanad
hadits ini ada seorang perawi yang diperbincangkan kepribadiannya)
Ada satu kebiasaan tercela di tengah penuntut ilmu dan masyarakat
pada umumnya, yaitu tindakan mereka yang terlalu bermudah-mudahan
memberikan fatwa hanya karena pernah mentelaah suatu permasalahan
syariat. Sudah seperti itu, ia menyangka bahwa dirinya sudah layak
mengeluarkan fatwa dan mengkritisi pendapat-pendapat pakar fiqih.
Padahal jika kita melihat bagaimana sikap orang-orang terdahulu yang
benar-benar sangat hati-hati memberi fatwa meskipun keilmuan mereka
tidak perlu diragukan lagi, tentu kita akan merasa kerdil dan malu
terhadap apa yang ada pada kita. Baru pernah menghadiri beberapa daurah
dan kajian ilmiah serta mengkhatamkan beberapa gelintir buku saja sudah
merasa seakan-akan mebawa lautan ilmu, gampang mengeluarkan fatwa,
sembrono menyalahkan orang lain, dan tindakan-tindakan rendahan lainnya.
Disebutkan dalam kitab Adab Al-Mufti wa Al-Mustafti karya Ibnu Ash-Shalah, bahwa pada suatu ketika ada seseorang yang mendatangi Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq –radhiyallahu ‘anhum- untuk mempertanyakan sesuatu. Maka Al-Qasim berkata, “Aku bukan pakarnya.”
Orang yang tadi datang pun terus merayu, “Sesungguhnya aku didorong untuk bertanya padamu. Aku tidak mengetahuinya selainmu.”
Al-Qasim menjawab, “Anda jangan melihat panjangnya janggutku dan
padatnya orang di sekelilingku. Demi Allah, aku bukan pakarnya.”
Kemudian beliau berkata pula, “Demi Allah, sekiranya lisanku dipotong
itu lebih kusukai daripada aku harus berbicara tanpa ilmu tentangnya.”
Sufyan bin ‘Uyainah dan Sahnun bin Sa’id pernah mengatakan, “Orang
yang paling gampang mengeluarkan fatwa adalah orang yang paling minim
ilmunya.”
Al-Haitsam bin Jamil berkata, “Aku menyaksikan Malik bin Anas diberi
pertanyaan sebanyak 48 masalah. 32 masalah di antaranya beliau katakan,
‘Aku tidak tahu.’”
Berfatwa tanpa ilmu kerap kali menyebabkan lahirnya kesesatan dan
kedustaan. Boleh jadi menghalalkan yang seharusnya haram atau
mengharamkan yang seharusnya halal.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ
هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ*
مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu
adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS An-Nahl: 116-117)
Agar dapat menimimalisir berbicara tanpa ilmu atau berdusta atas nama
seseorang adalah dengan selalu memusatkan perhatian ketika menghadiri
pengajian atau ketika pelajaran tengah berlangsung. Bukan malah datang
ke pengajian atau kelas hanya untuk kemudian dijadikan sebagai ajang
lomba tidur. Atau hal yang serupa adalah dengan banyak melakukan hal
sia-sia ketika pelajaran tengah berlangsung. Seperti misalnya banyak
main HP, ngobrol dengan sesama hadirin, banyak izin keluar kelas karena
alasan yang tidak masuk akal, atau bahkan hanya sekedar setor muka di
hadapat sang guru. Tindakan-tindakan semacam ini sangat tidak layak
dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai penuntut ilmu.
Kemudian banyak melakukan hal sia-sia ketika pelajaran tengah
berlangsung hanya akan mengganggu konsenterasi memahami penjelasan sang
guru. Apalagi permasalahan yang sedang dibahas terhitung rumit dan sulit
yang tidak hanya memerlukan kesadaran penuh, namun juga konsenterasi
dan berfungsinya akal pikiran secara sempurna. Bahkan jika perlu, tidak
hanya suara guru yang didengar, namun juga gerak-gerik bibir guru juga
diperhatikan agar tidak ada satu huruf pun yang salah terdengar. Karena
biasanya satu kalimat saja luput dari penangkapan indera, dapat
mempengaruhi pemahaman seseorang. Apalagi mereka yang pemahamannya
standart. Yang seharusnya hukumnya A, malah difahami hukumnya B. Dan
demikianlah seterusnya.
Maka ketika sudah salah menangkap penjelasan sang guru, bisa jadi
ketika keluar dari pengajian dan kelas pelajaran, langsung menyampaikan
apa yang ditangkapnya dari sang guru. Hasilnya tidak dapat tidak, ia
telah berkata dusta atas nama gurunya. Padahal sang guru berlepas diri
dari apa yang ditangkapnya itu.
Apalagi di zaman modert seperti saat ini. Ketika media-media
informasi mudah didapat, seperti facebook dan twitter. Berapa banyak
Anda jumpai mereka yang baru saja keluar dari pengajian atau daurah,
langsung update di akun jejaringan sosial yang dimilikinya. Bahkan
penulis pernah menjumpai orang yang sudah terburu-buru update ketika
pelajaran tengah berlangsung. Iya kalau apa yang ia tangkap dari sang
guru sesuai realita, jika ternyata berbedar bagaimana?!
Dalam hal ini penulis tidak menyalahkan mereka yang menebar ilmu di
jejaringan sosial, akan tetapi alangkah baiknya jika apa yang ditulis
itu benar-benar sesuai dengan keadaan yang ada. Tidak ada penambahan
ataupun pengurangan yang bersifat sia-sia, apalagi diotak-atik seperti
kebiasaan ahlul bida’ wal ahwa’ (baca: pelaku bid’ah dan pengekor hawa nafsu) yang kerap mengotak-atik teks-teks Al-Quran dan hadits shahih.
Pernah suatu kali salah seorang dosen kami, Syaikh ‘Ali Hufaizh,
menceritakan ketika beliau tengah mengisi suatu pengajian di sebuah
masjid. Karena suaranya yang tinggi, sehingga orang-orang di luar masjid
yang berlalu lalang pun dapat mendengarnya. Di kemudian hari salah
seorang yang mendengar suatu penjelasan beliau dari luar masjid
menyampaikan sesuatu pada orang lain. Satu permasalah penting. Ketika
hal tersebut didengar oleh Syaikh, ternyata beliau mengingkarinya. Bukan
seperti itu penjelasan yang beliau pernah sampaikan saat itu.
Hal lain yang perlu diperhatikan selain satu hal di atas adalah saat
membaca buku. Membaca buku juga sangat diperlukan sikap kehati-hatian.
Sebaiknya seorang yang membaca buku selau memusatkan perhatiannya pada
apa yang tengah dibacanya. Bukan sekedar membaca tanpa ada keseriusan.
Oleh sebab itu, seyogyanya membaca buku bukan saja target cepat selesai
dan banyaknya buku yang dikhatamkan, namun juga target memahami buku
yang dibacanya hingga benar-benar faham. Jika ada hal-hal yang kiranya
sulit difahami sendiri, alangkah baiknya jika ia menanyakannya pada
seorang yang ahli di bidangnya. Membaca sedikit dengan disertai
pemahaman yang benar itu lebih baik daripada banyak khatam kitab namun
salah tangkap.
Sungguh betapa indahnya syair yang mengatakan,
أقول زيدا فيسمعه عمروا *** و يكتبه بكرا و يقرؤه بدرا
Aku katakan Zaid, dia malah mendengarnya ‘Amr
Lalu ia menulisnya Bakr namun dibacanya Badr
Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla memberikan rizki pada kita semua berupa sikap amanah, jujur, dan khasy-yah
pada-Nya, serta memberikan kita kecintaan pada ilmu dan mengamalkannya.
Sesungguhnya hanya Dia jualah Dzat yang Mahamengabulkan doa. Tidak ada
ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia semata, tidak ada
sekutu bagi-Nya. []
—
Penulis: Firman Hidayat
Artikel Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment