Ada tiga hal yang di nasehatkan Ibnul Qayyim ketika kita sedang
menimbang, memperhatikan dan merenungi amal-amal kita di dunia ini:
Yang pertama: Nurul hikmah (ilmu), sudah jelas bagi kita bahwa miqyas dan timbangan yang kita pakai untuk menimbang antara dosa-dosa dan kenikmatan-kenikmatan yang sudah kita terima adalah ilmu agama. Betapa besar nikmat yang Allah yang sudah kita terima tapi masih saja kita balas nikmat itu dengan dosa dan kemaksiatan yang masih saja tidak bisa kita tinggalkan.
Yang kedua: Suuzhan bi nafsi (tidak selalu memandang baik pada diri), memang betul bahwa kebaikan dan kenikmatan yang kita terima adalah juga merupakan buah dari kebaikan dan taqwa yang kita haturkan kepada Allah Ta’ala. Tapi ingat kita jangan tertipu dengan kesalehan pribadi kita yang berujung pada ujub dan bangga diri dihadapan manusia karena kita sudah merasa sedemikian tinggi derajat ibadah kita dibanding orang awam. Suuzhan bi nafsi amat diperlukan, sebab berbaik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, dan aib sebagai kesempurnaan.
Yang ketiga: kemampuan membedakan antara nikmat dan ujian, yaitu mampu membedakan antara nikmat yang berasal dari kebaikan dan ketaqwaan kita yang berujung pada kenikmatan haqiqi dengan nikmat yang sebenarnya makin memfasilitasinya untuk semakin berbuat syirik dan kedurhakaan kepada Allah Ta’ala, dimana ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu terus kemudian berdalil dengan nikmat itu ia telah berada dalam jalan yang benar. Misalnya perkataan seorang penyanyi dangdut atau artis film yang berkata misalnya : “Alhamdulillah saya masih disayang oleh Allah, buktinya saya masih banyak job dan undangan manggung…” !?
Wal iyadzu billah…
—
Penulis: Ustadz Suhuf Subhan, Lc.
Artikel Muslimah.Or.Id
Yang pertama: Nurul hikmah (ilmu), sudah jelas bagi kita bahwa miqyas dan timbangan yang kita pakai untuk menimbang antara dosa-dosa dan kenikmatan-kenikmatan yang sudah kita terima adalah ilmu agama. Betapa besar nikmat yang Allah yang sudah kita terima tapi masih saja kita balas nikmat itu dengan dosa dan kemaksiatan yang masih saja tidak bisa kita tinggalkan.
Yang kedua: Suuzhan bi nafsi (tidak selalu memandang baik pada diri), memang betul bahwa kebaikan dan kenikmatan yang kita terima adalah juga merupakan buah dari kebaikan dan taqwa yang kita haturkan kepada Allah Ta’ala. Tapi ingat kita jangan tertipu dengan kesalehan pribadi kita yang berujung pada ujub dan bangga diri dihadapan manusia karena kita sudah merasa sedemikian tinggi derajat ibadah kita dibanding orang awam. Suuzhan bi nafsi amat diperlukan, sebab berbaik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, dan aib sebagai kesempurnaan.
Yang ketiga: kemampuan membedakan antara nikmat dan ujian, yaitu mampu membedakan antara nikmat yang berasal dari kebaikan dan ketaqwaan kita yang berujung pada kenikmatan haqiqi dengan nikmat yang sebenarnya makin memfasilitasinya untuk semakin berbuat syirik dan kedurhakaan kepada Allah Ta’ala, dimana ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu terus kemudian berdalil dengan nikmat itu ia telah berada dalam jalan yang benar. Misalnya perkataan seorang penyanyi dangdut atau artis film yang berkata misalnya : “Alhamdulillah saya masih disayang oleh Allah, buktinya saya masih banyak job dan undangan manggung…” !?
Wal iyadzu billah…
—
Penulis: Ustadz Suhuf Subhan, Lc.
Artikel Muslimah.Or.Id
No comments:
Post a Comment