Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dan memberikan kenikmatan yang tidak terhingga. Manusia tidak akan mampu menghitungnya.
Allah berfirman:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak
dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. An-Nahl: 18)
NIKMAT SEHAT
Di antara kenikmatan Allah yang sangat banyak adalah kesehatan.
Kesehatan merupakan kenikmatan yang diakui setiap orang, memiliki nilai
yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan hal ini dengan sabdanya:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
"Barangsiapa di antara kamu masuk pada waktu pagi dalam keadaan
sehat badannya, aman pada keluarganya, dia memiliki makanan pokoknya
pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya." (HR. Ibnu Majah, no: 4141; dan lain-lain; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no: 5918)
Kita melihat kenyataan manusia yang rela mengeluarkan biaya yang
besar untuk berobat, ini bukti nyata mahalnya kesehatan yang merupakan
kenikmatan dari Allah Ta’ala.
Akan tetapi kebanyakan manusia lalai dari kenikmatan kesehatan ini, dia akan ingat jika kesehatan hilang darinya.
Diriwayatkan bahwa seseorang mengadukan kemiskinannya dan menampakkan
kesusahannya kepada seorang ‘alim. Maka orang ‘alim itu berkata:
“Apakah engkau senang menjadi buta dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”,
dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah engkau
senang menjadi bisu dengan mendapatkan 10 ribu dirham?”, dia menjawab:
“Tidak”. Orang ‘alim itu berkata lagi: “Apakah engkau senang menjadi
orang yang tidak punya kedua tangan dan kedua kaki dengan mendapatkan
20 ribu dirham?”, dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata lagi:
“Apakah engkau senang menjadi orang gila dengan mendapatkan 10 ribu
dirham?”, dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘alim itu berkata: “Apakah
engkau tidak malu mengadukan Tuanmu (Allah subhanahu wa ta'ala ) sedangkan Dia memiliki harta 50 ribu dinar padamu”. (Lihat: Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm: 366)
DUA KENIKMATAN, BANYAK MANUSIA TERTIPU
Oleh karena itulah seorang hamba hendaklah selalu mengingat-ingat
kenikmatan Allah yang berupa kesehatan, kemudian bersyukur kepada-Nya,
dengan memanfaatkannya untuk ketaatan kepada-Nya. Jangan sampai menjadi
orang yang rugi, sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا
كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ (خ 593
"Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya:
kesehatan dan waktu luang." (HR. Bukhari, no: 5933)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Kenikmatan
adalah keadaan yang baik, ada yang mengatakan kenikmatan adalah manfaat
yang dilakukan dengan bentuk melakukan kebaikan untuk orang lain." (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, penjelasan hadits no: 5933)
Kata “maghbuun” secara bahasa artinya tertipu di dalam jual-beli, atau lemah fikiran.
Al-Jauhari rahimahullah:
“Berdasarkan ini, kedua (makna itu) bisa dipakai di dalam hadits ini.
Karena sesungguhnya orang yang tidak menggunakan kesehatan dan waktu
luang di dalam apa yang seharusnya, dia telah tertipu, karena dia telah
menjual keduanya dengan murah, dan fikirannya tentang hal itu tidaklah
terpuji." (Fathul Bari)
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: “Makna hadits ini bahwa
seseorang tidaklah menjadi orang yang longgar (punya waktu luang)
sehingga dia tercukupi (kebutuhannya) dan sehat badannya. Barangsiapa
yang dua perkara itu ada padanya, maka hendaklah dia berusaha agar
tidak tertipu, yaitu meninggalkan syukur kepada Allah terhadap nikmat
yang telah Dia berikan kepadanya. Dan termasuk syukur kepada Allah
adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Barangsiapa melalaikan hal itu maka dia adalah
orang yang tertipu." (Fathul Bari)
Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas
“kebanyakan manusia tertipu pada keduanya” ini mengisyaratkan bahwa
orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) untuk itu, orangnya sedikit.
Ibnul Jauzi rahimahullah
berkata: “Kadang-kadang manusia itu sehat, tetapi dia tidak longgar,
karena kesibukannya dengan penghidupan. Dan kadang-kadang manusia itu
cukup (kebutuhannya), tetapi dia tidak sehat. Maka jika keduanya
terkumpul, lalu dia dikalahkan oleh kemalasan melakukan kataatan, maka
dia adalah orang yang tertipu. Kesempurnaan itu adalah bahwa dunia
merupakan ladang akhirat, di dunia ini terdapat perdagangan yang
keuntungannya akan nampak di akhirat.
Maka barangsiapa
menggunakan waktu luangnya dan kesehatannya di dalam ketaatan kepada
Allah, maka dia adalah orang yang pantas diirikan. Dan barangsiapa
menggunakan keduanya di dalam maksiat kepada Allah, maka dia adalah
orang yang tertipu. Karena waktu luang akan diikuti oleh kesibukan, dan
kesehatan akan diikuti oleh sakit, jika tidak terjadi maka masa tua
(pikun).
Sebagaimana dikatakan orang “Panjangnya keselamatan
(kesehatan) dan tetap tinggal (di dunia) menyenangkan pemuda. Namun
bagaimanakah engkau lihat panjangnya keselamatan (kesehatan) akan
berbuat? Akan mengembalikan seorang pemuda menjadi kesusahan jika
menginginkan berdiri dan mengangkat (barang), setelah (sebelumnya di
waktu muda) tegak dan sehat.” (Fathul Bari)
Ath-Thayyibi rahimahullah berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
membuat gambaran bagi mukallaf (orang yang berakal dan dewasa) dengan
seorang pedagang yang memiliki modal. Pedagang tersebut mencari
keuntungan dengan keselamatan modalnya. Maka caranya dalam hal itu
adalah dia memilih orang yang akan dia ajak berdagang, dia selalu
menetapi kejujuran dan kecerdikan agar tidak merugi. Kesehatan dan waktu
luang adalah modal, seharusnya dia (mukallaf) berdagang dengan Allah
dengan keimanan, berjuang menundukkan hawa-nafsu dan usuh agama, agar
dia mendapatkan keberuntungan kebaikan dunia dan akhirat. Hal ini
seperti firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Qs. As-Shaaf: 10) dan ayat-ayat berikutnya.
Berdasarkan itu dia wajib menjauhi ketatan kepada hawa-nafsu dan
berdagang/kerja-sama dengan setan agar modalnya tidak sia-sia bersama
keuntungannya.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits tersebut “kebanyakan manusia tertipu pada keduanya” seperti firman Allah:
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih." (Qs. Sabaa': 13)
“Kebanyakan” di dalam hadits itu sejajar dengan “sedikit” di dalam ayat tersebut.” (Fathul Bari)
Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-‘Arabi rahimahullah
berkata: “Diperselisihkan tentang kenikmatan Allah yang pertama (yakni
yang terbesar) atas hamba. Ada yang mengatakan “keimanan”, ada yang
mengatakan “kehidupan”, ada yang mengatakan “kesehatan”. Yang pertama
(yaitu keimanan) lebih utama, karena hal itu kenikmatan yang mutlak
(menyeluruh). Adapun kehidupan dan kesehatan, maka keduanya adalah
kenikmatan duniawi, dan tidak menjadi kenikmatan yang sebenarnya
kecuali jika disertai oleh keimanan. Dan di waktu itulah banyak manusia
yang merugi, yakni keuntungan mereka hilang atau berkurang.
Barangsiapa mengikuti hawa-nafsunya yang banyak memerintahkan
keburukan, selalu mengajak rileks, sehingga dia meninggalkan
batas-batas (Allah) dan meninggalkan menekuni ketaatan, maka dia telah
merugi. Demikian juga jika dia lonnggar, karena orang yang sibuk
kemungkinan memiliki alasan, berbeda dengan orang yang longgar, maka
alasan hilang darinya dan hujjah (argumen) tegak atasnya." (Fathul Bari)
Maka sepantasnya hamba yang berakal bersegera beramal shalih selama
kesempatan masih ada. Hanya Allah Tempat memohon pertolongan.
Artikel: www.UstadzMuslim.com
Dipublikasikan oleh: www.pengusahamuslim.com
No comments:
Post a Comment